Mimpi di Atas Pasir - #Part 1
|
Namanya Imran, umur 5 tahun. Kulitnya Cerah bersih, matanya bersinar Penuh semangat yang sedang menatap cahaya Matahari yang mulai redup sore itu. Ia impikan bukanlah naik ke bulan atau menembus langit, Bukan pula kapal besar. Yang ada di kepalanya adalah gedung tinggi menjulang, menembus awan, berdiri gagah di tengah Pulau Kaledupa. Imajinasi Seorang Insinyur muda yang punya cita-cita jauh melampaui usianya.
Kenapa kamu bengong lagi, Imran? tanya Aulia Kakak Perempuannya, yang menghampiri sambil merapikan buku-buku yang berserakan di lantai.
Imran menjawab sambil tersenyum,
Aku lagi mikir… Gimana kalau di sini ada gedung tinggi… sampai bisa lihat seluruh pulau dari atas? sambil menunjuk Suatu Pulau Hoga di seberang.
Aulia tertawa lalu berkata :
Gedung tinggi di Kaledupa? Kita aja masih pakai genset malam-malam! hahaha....
Imran Lalu menyela sambil tersenyum tipis, Tapi Imran tidak tersinggung. Ia hanya menunjuk langit, Seraya berucap lagi
Gedung tinggi itu… nggak harus langsung jadi. Tapi semua bisa dimulai dari sini. Dari pasir ini. Dari imajinasi,” katanya serius.
Malamnya, Imran dengan Imajinasinya, menggambar sesuatu di buku kecilnya : rancangan gedung berbentuk karang, dengan atap seperti perahu dan lift yang bisa melihat lautan. Ia bahkan menulis namanya: “Menara Pelindung Laut” Di bawahnya tertulis : Bangunan tertinggi di Pulau Kaledupa.
Besoknya di sekolah, Dengan Percaya dirinya Imran Lalu menunjukkan gambar gedungnya pada Ibu Mawar, guru yang ia kagumi. Namun saat Buk Mawar melihat gambar itu, ia mendesah pelan.
Imran..., ide kamu bagus. Tapi kamu harus tahu. Di sini saja belum ada bangunan lebih dari dua lantai. Listrik terbatas. Lahan sempit. Kamu harus lebih realistis.”
Kalimat itu menghantam Imran seperti ombak besar. Sekuat tenaga ia menahan air mata.
Bermimpi itu boleh. Tapi jangan terlalu tinggi, Nak,” tambah Buk Mawar sambil tersenyum kaku.
Imran hanya mengangguk. Tapi dalam hati, rasanya seperti menara imajinasinya baru saja runtuh.
Setibanya dirumah Imran lalu menceritakan kejadian itu ke kakaknya. Aulia yang mendengar sikap gurunya itu, merasa marah. Tapi ia tahu, tidak cukup hanya dengan marah.
Keesokan Harinya, Aulia datang ke kamar Imran membawa sebuah hadiah : sebuah model miniatur gedung yang ia buat dari karton bekas dan tusuk sate. Meski bentuknya sederhana, menara itu memiliki atap dari kerang, dan bendera kecil bertuliskan :
“Untuk Adik ku Imran : Jangan berhenti bangun mimpimu”.
Imran menatap hadiah itu lama, lalu tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya sejak kemarin, matanya kembali berbinar seperti mendapat Jiwanya lagi kembali.
TO BE CONTINUED...