Bedah Peran Ormas dan LSM: Di Antara Kepentingan Publik dan Politik
Di tengah dinamika sosial-politik Indonesia, dua aktor sipil ini kerap muncul dalam pemberitaan, tapi sering juga disalahpahami: Ormas dan LSM. Keduanya bukan lembaga negara, bukan juga bagian dari partai politik. Tapi pengaruh mereka bisa besar—bahkan kadang lebih berisik daripada institusi resmi. Namun, di balik jargon idealisme yang mereka usung, publik mulai bertanya:
Benarkah mereka berjuang untuk rakyat, atau sekadar alat baru dalam peta kepentingan politik?
Ormas dan LSM: Antara Cita dan Realita
Secara teori, Ormas adalah wadah masyarakat untuk berkumpul, bersuara, dan memperjuangkan aspirasi bersama. Ada yang berbasis agama, suku, profesi, bahkan ideologi tertentu.
Sementara itu, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) lebih sering digambarkan sebagai pihak yang independen dan kritis terhadap kebijakan negara. Mereka menjalankan program sosial, edukasi, advokasi hukum, hingga pendampingan masyarakat kecil yang kerap tak dilirik negara. Namun di lapangan, batas antara idealisme dan kepentingan seringkali kabur, Contoh sederhana:
Sebuah Ormas keagamaan menyuarakan pentingnya moral di ruang publik, tapi pada saat bersamaan justru menerima hibah dari pemerintah daerah dan kerap “diam” saat ada kebijakan yang tak populis.
Sebuah LSM menyuarakan penolakan tambang nikel atas nama lingkungan, tapi tidak transparan soal sumber dana mereka yang ternyata berasal dari konsorsium luar negeri dengan agenda geopolitik tersendiri.
Kita tak bisa menutup mata bahwa menjelang tahun politik, ada lonjakan aktivitas dari berbagai ormas dan LSM. Mendadak banyak seminar, rilis survei, aksi protes, atau pernyataan sikap yang “terkesan kebetulan” mendukung atau menyerang tokoh tertentu.
Realitanya, sebagian ormas dan LSM kini menjadi “kendaraan tak resmi” para elite politik. Mereka berfungsi sebagai perpanjangan tangan untuk menggalang dukungan publik, mengacaukan opini, atau sekadar memberi kesan ada “gerakan rakyat” padahal semua telah dirancang dari balik layar. Fenomena ini dikenal sebagai “astroturfing”—aktivisme palsu yang dimanipulasi elite agar terlihat organik. Dan ya, ini sudah terjadi, bahkan bukan cuma di Jakarta, tapi sampai ke daerah-daerah.
Meski begitu, tak adil jika semua disamaratakan. Banyak ormas dan LSM yang tetap bekerja dengan jujur dan konsisten. Di pelosok Papua, ada LSM yang rutin mengirim tenaga medis dan guru sukarelawan. Di Jabar, ada ormas lokal yang rutin mengawal bantuan sosial agar tepat sasaran dan tidak dijadikan alat politik oleh pejabat desa. Mereka jarang masuk TV, tidak viral, tapi dampaknya nyata. Mereka membantu warga desa yang tanahnya dirampas korporasi, mengedukasi remaja tentang bahaya pernikahan dini, dan mendampingi perempuan korban KDRT yang bingung harus mengadu ke mana.
Mereka tidak butuh mikrofon, tapi kehadiran mereka jadi suara bagi mereka yang selama ini diam.
Ada beberapa hal yang membuat publik makin selektif terhadap ormas dan LSM:
Kurangnya transparansi dana. Publik berhak tahu, dana operasional mereka dari mana dan digunakan untuk apa. Ini penting agar masyarakat tak merasa dimanfaatkan.
-
Inkonsistensi sikap. Hari ini menolak reklamasi, besok mendukung karena “sudah ada kesepakatan dengan pihak terkait.”
-
Kedekatan dengan pejabat. Ketika LSM terlalu akrab dengan kekuasaan, publik wajar bertanya: siapa yang mereka bela?
Hal-hal semacam ini tidak hanya merusak kepercayaan publik, tapi juga merusak ekosistem sipil secara keseluruhan.
Kita perlu cerdas menyikapi kehadiran ormas dan LSM. Bukan berarti harus sinis, tapi tetap kritis. Beberapa langkah sederhana:
-
Cek rekam jejak organisasi: sejak kapan berdiri, siapa pendirinya, apa programnya.
-
Perhatikan konsistensi sikap mereka dalam isu-isu publik.
-
Jangan langsung percaya hanya karena dikemas dengan narasi “atas nama rakyat”.
Di sisi lain, kita juga perlu mendorong pemerintah untuk menerapkan regulasi yang adil dan transparan soal hibah, akreditasi, serta pertanggungjawaban organisasi masyarakat sipil. Ormas dan LSM ibarat kaca pembesar. Mereka membantu kita melihat hal-hal yang sering diabaikan negara. Tapi kalau kacanya retak, pandangan kita pun jadi bias.
Kita tidak anti terhadap ormas dan LSM. Sebaliknya, kita sangat butuh mereka—asal benar-benar berdiri di atas kepentingan publik, bukan jadi alat elit politik atau lembaga donor luar, Karena pada akhirnya, demokrasi yang sehat butuh partisipasi yang murni. Dan kita, sebagai warga, punya peran penting untuk menjaga agar partisipasi itu tetap jujur dan berpihak.