Kunto Bimo: Mitos,Makna dan Magis di balik Stupa Borobudur
Borobudur bukan hanya sekadar candi. Ia adalah karya agung yang menyimpan filosofi, sejarah, dan kisah-kisah yang terus hidup hingga kini. Di antara semua keajaiban yang ditawarkan oleh candi Buddha terbesar di dunia ini, satu hal yang paling banyak dibicarakan adalah “Kunto Bimo”—sebuah nama yang misterius, mitos yang melegenda, dan praktik yang terus dilakukan hingga sekarang.
Apa Itu Kunto Bimo?
Istilah "Kunto Bimo" sebenarnya tidak tercantum dalam prasasti atau dokumen sejarah resmi zaman Dinasti Syailendra. Nama ini lebih merupakan buah dari budaya tutur masyarakat lokal. Sebagian orang percaya bahwa Kunto Bimo adalah nama dari patung Buddha yang berada di dalam stupa berlubang di tingkat Arupadhatu.
Ada versi yang menyebut bahwa nama tersebut adalah gabungan dua tokoh pewayangan Jawa, yakni Kunto (yang sering dikaitkan dengan tokoh Kuntowijaya) dan Bimo (nama lain dari Bima, tokoh Pandawa yang gagah dan jujur). Tapi jika dirunut secara historis dan ikonografi Buddha, patung dalam stupa itu sebenarnya adalah Buddha dalam sikap Dharmachakra Mudra—lambang pengajaran roda Dharma.
Menurut arkeolog Dr. Agus Aris Munandar, “Tidak ada catatan tertulis mengenai siapa itu Kunto Bimo. Ini lebih pada mitos lokal yang muncul dan hidup karena narasi dari para juru kunci dan masyarakat sekitar.” (sumber: diskusi budaya dan sejarah candi, UGM, 2019)
Mitos: Sentuh Patung, Terkabul Harapan
Inilah bagian paling viral. Banyak pengunjung yang datang ke Borobudur dengan satu tujuan: menyentuh patung dalam stupa berlubang sambil berdoa, berharap agar keinginannya terkabul—mulai dari jodoh, rezeki, hingga kesuksesan karier. Biasanya, mereka akan memasukkan tangan ke dalam lubang stupa dan mencoba meraih jari atau tangan patung di dalamnya. Kalau berhasil menyentuhnya, konon katanya permintaan akan segera dikabulkan. Tidak sedikit yang datang berkali-kali demi menyentuh sang “Kunto Bimo”. Namun, kepercayaan ini ternyata tidak sejalan dengan ajaran Buddha maupun makna asli Borobudur.
Borobudur didesain bukan sebagai tempat meminta rezeki atau jodoh, tetapi sebagai peta perjalanan spiritual menuju pencerahan. Arsitekturnya menggambarkan tiga alam kehidupan:
-
Kamadhatu (alam nafsu),
-
Rupadhatu (alam bentuk),
-
Arupadhatu (alam tanpa bentuk, tertinggi).
Stupa berlubang tempat “Kunto Bimo” berada adalah bagian dari Arupadhatu. Dalam ajaran Mahayana, ini adalah tahap di mana manusia sudah bebas dari keinginan duniawi. Jadi, agak ironis ketika banyak orang justru memohon hal-hal duniawi di titik spiritual tertinggi itu.
Pariwisata vs Pelestarian Makna
Mitos Kunto Bimo pada akhirnya menjadi daya tarik wisata. Di satu sisi, ia berhasil menghidupkan sisi magis Borobudur yang membuat orang penasaran. Namun di sisi lain, makna kontemplatif dan filosofis dari Candi Borobudur sering kali terpinggirkan.
Mau percaya atau tidak, itu pilihan. Tapi yang jelas, mitos ini mencerminkan harapan dan spiritualitas masyarakat yang tidak bisa diremehkan. Kunto Bimo, walau tidak jelas asal-usulnya, berhasil menjadi jembatan antara warisan masa lalu dan pencarian makna hidup modern.
Yang penting, ketika berkunjung ke Borobudur, kita tidak hanya membawa kamera dan harapan. Tapi juga rasa hormat, rasa ingin tahu, dan kesadaran bahwa setiap relief dan batu di sana menyimpan filosofi yang dalam.
Mungkin, yang sebenarnya kita sentuh saat meraih patung di dalam stupa itu bukanlah patungnya, tapi bagian dari diri kita sendiri yang haus akan arah, makna, dan keheningan. Karena pada akhirnya, perjalanan spiritual bukan soal tempat, tapi soal perjalanan batin.