LSM & Media : Duet Demokratis atau Mesin Propaganda?
Teikita.com — Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan media sering kali diposisikan sebagai dua pilar penting dalam menjaga demokrasi. Keduanya dianggap sebagai penjaga moral, pengawas kekuasaan, sekaligus penyambung suara publik. Namun, dalam praktiknya, tidak semua LSM dan media beroperasi dalam rel idealisme tersebut. Ada kalanya, mereka justru bertransformasi menjadi alat propaganda kelompok kepentingan tertentu, baik di ranah politik, ekonomi, maupun ideologi.
Fenomena ini tentu menimbulkan pertanyaan krusial : Apakah LSM dan Media masih dapat dipercaya sebagai mitra demokratis? Ataukah mereka telah tergelincir menjadi instrumen kekuasaan yang mengaburkan kebenaran?
Secara normatif, LSM di Indonesia memiliki peran penting dalam memperkuat partisipasi masyarakat, mendorong kebijakan publik yang pro-rakyat, serta menjadi aktor independen dalam advokasi sosial. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang menyatakan bahwa ormas (termasuk LSM) memiliki fungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Namun, dalam praktiknya, banyak LSM yang tidak sepenuhnya bebas dari kepentingan donor, sponsor asing, bahkan elit politik lokal. Sebagian LSM cenderung bersuara keras hanya ketika menyangkut lawan politik dari kelompok afiliasinya, sementara diam saat pelanggaran dilakukan oleh pihak yang berada dalam lingkarannya. Di sinilah fungsi ideal LSM sebagai pengontrol sosial mulai tereduksi menjadi corong satu arah.
Media dan Netralitas yang Kian Terkikis
Media massa, baik cetak maupun digital, juga menghadapi tantangan serupa. Di satu sisi, media adalah **pilar keempat demokrasi, tetapi di sisi lain, media adalah entitas bisnis yang punya kepentingan. Sebagian besar media besar di Indonesia saat ini dimiliki oleh konglomerasi yang juga memiliki kepentingan politik. Tak jarang, agenda pemberitaan yang muncul lebih bernuansa framing dan narasi pesanan, dibandingkan pelaporan objektif.
Prinsip dasar jurnalisme seperti cover both sides, independensi, dan verifikasi fakta kerap dikesampingkan demi mengejar rating, klikbait, atau keuntungan iklan dari pihak-pihak tertentu. Bahkan dalam beberapa kasus, media ikut menggiring opini publik secara sistematis untuk membentuk persepsi yang menguntungkan satu kelompok saja. LSM dan media, ketika bekerja sama dalam satu misi yang sama entah itu advokasi, edukasi, atau kampanye sosial — bisa menjadi kekuatan luar biasa untuk mendorong perubahan. Namun, duet ini juga bisa sangat berbahaya apabila tujuan mereka tidak lagi bersifat publik, melainkan privat.
Contoh paling nyata adalah ketika sebuah LSM membuat laporan pelanggaran atau isu lingkungan, lalu diblow-up oleh media tertentu tanpa verifikasi mendalam, dan kemudian dijadikan alat tekanan politik atau bisnis. Dampaknya bukan hanya pada rusaknya reputasi pihak yang dituduh, tetapi juga kerusakan pada kepercayaan publik terhadap kedua institusi tersebut.
Dalam konteks ini, peran hukum menjadi sangat penting sebagai alat penyeimbang. Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 menegaskan bahwa :
Pers memiliki tanggung jawab untuk menyajikan informasi yang benar, adil, dan berimbang. Sementara Kode Etik Jurnalistik mengharuskan jurnalis untuk menghindari konflik kepentingan, serta tidak menyampaikan informasi yang bersifat fitnah atau tidak terverifikasi.
Namun, di sisi lain, LSM yang melanggar prinsip independensi dan transparansi dapat dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan, termasuk pencabutan status hukum atau pembekuan aktivitas.
Untuk mengembalikan kepercayaan publik, LSM dan media harus kembali ke nilai-nilai fundamentalnya. LSM harus memperjelas sumber pendanaan dan afiliasi ideologisnya secara terbuka. Media harus berani membangun redaksi yang independen, memberikan ruang untuk suara beragam, serta melibatkan publik dalam proses koreksi dan akuntabilitas. Pemerintah dan DPR juga perlu memperkuat regulasi yang mengatur transparansi media dan LSM, tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi. Di era digital saat ini, di mana informasi menyebar begitu cepat dan mudah dipelintir, tanggung jawab moral dan etik dua entitas ini menjadi semakin krusial.
LSM dan media adalah komponen vital dalam sistem demokrasi, namun keduanya bukan tanpa cela. Ketika idealisme digantikan oleh kepentingan, maka keduanya bisa berubah menjadi mesin propaganda yang membahayakan** integritas demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, publik harus semakin cerdas, kritis, dan selektif dalam menyaring informasi serta menilai motif di balik setiap narasi yang disampaikan. Demokrasi sejati bukan hanya soal kebebasan berbicara, tapi juga soal tanggung jawab menyampaikan kebenaran. **