Mimpi Diatas Pasir - #Part 2


Sore itu, Imran duduk di teras rumah sambil memandangi miniatur gedung buatan Aulia.

Jemarinya pelan-pelan menyentuh atap kerang yang licin, lalu menggeser bendera kecil bertuliskan pesan kakaknya. Rasanya seperti ada sesuatu yang hangat mengalir di dadanya—sesuatu yang sempat hilang kemarin.

Kalau Kakak bisa bikin ini dari barang bekas,” kata Aulia sambil duduk di sampingnya, “Imran juga bisa bikin gedung tinggimu suatu hari nanti, meski sekarang cuma di atas kertas.”

Imran menoleh,

Tapi… semua orang bilang di sini nggak ada gedung tinggi. Bahkan Bu Guru juga…” Imran menyela. 

Aulia menatap mata adiknya dengan serius berkata.

gedung itu memang belum ada. Tapi bukan berarti nggak bisa ada. Kadang, mimpi memang lahir lebih dulu daripada kenyataannya.”

Imran menghela napas, lalu memegang miniatur itu lebih erat, sambil senyum tipis Ia berkata, 

Kalau gitu… Imran mau coba lagi.”

Keesokan harinya, Aulia mengajak Imran ke tepi pantai Pulau Hoga. Di sana, pasir putih terbentang, dan air laut jernih memantulkan cahaya sore. Mereka membawa kertas gambar besar, pensil warna, dan miniatur gedung itu.

Kita bikin versi pasirnya,” kata Aulia semangat. “Biar semua orang di sini lihat.”

Imran mulai membangun menara pasir, menggabungkan cangkang, batu karang kecil, dan ranting-ranting kering. Bentuknya mengikuti miniatur yang Aulia bawa. Matahari sore menyorot menara itu, membuatnya tampak seperti benar-benar menjulang tinggi.

Beberapa anak yang bermain di pantai mulai mendekat. Awalnya mereka hanya melihat, lalu berbisik-bisik. Ada yang tersenyum, tapi ada juga yang terkekeh.

Menara di pantai? Nanti roboh kena ombak!” ejek salah satu dari mereka.

Imran menggenggam ember kecilnya lebih erat. Ia hampir menghentikan pekerjaannya. Tapi Aulia memegang bahunya dan berbisik, 

Biarkan mereka lihat sampai selesai. Jangan biarkan ombak di mulut mereka meruntuhkan menaramu.”

Imran lalu kembali menata pasirnya. Tangannya bekerja lebih cepat, matanya fokus. Satu demi satu, bentuk menara itu mulai terlihat. Bahkan anak-anak yang tadi mengejek mulai memperhatikan lebih serius.

Tepat saat menara selesai, ombak kecil datang. Imran berlari menahan air dengan papan kayu bekas, sementara Aulia membantu memperkuat fondasinya dengan batu karang. Mereka tertawa kecil saat menara itu bertahan dari serangan pertama.

Anak-anak yang menonton mulai bertepuk tangan.

Wah… keren juga,” kata salah satu dari mereka.

Menara pasir itu tidak bertahan selamanya. Beberapa jam kemudian, ombak besar meruntuhkannya. Tapi Imran tidak sedih kali ini. Ia berdiri di tepi pantai, menatap sisa-sisa pasir yang menyebar di bawah kakinya.

Kak…” katanya pelan, “menaranya mungkin hilang… tapi idenya nggak bisa dibawa ombak.”

Aulia tersenyum, merangkul adiknya.

Itu yang namanya membangun mimpi, Dek. Kadang runtuh, tapi bisa dibangun lagi.”

Imran menatap cakrawala. Di sana, matahari tenggelam perlahan, seperti memberi janji bahwa esok akan ada kesempatan baru.


**To be continue.. 

View 👁️
0
Share 🔁
0