Dilema Sumber Daya vs Ekowisata : Konflik antara ESDM dan KLHK di Pulau Raja Ampat

 

Di ujung timur Indonesia, terbentang gugusan pulau-pulau eksotis yang keindahannya begitu memesona dunia: Raja Ampat. Nama ini sudah identik dengan keanekaragaman hayati laut yang luar biasa, terumbu karang spektakuler, dan warisan budaya masyarakat adat yang hidup selaras dengan alam. Tapi, akhir-akhir ini, keindahan itu mulai terancam oleh sebuah dilema yang tidak sederhana: antara tambang dan konservasi, antara ekonomi dan ekowisata.

Konflik ini mencuat ketika muncul aktivitas pertambangan nikel di beberapa pulau kecil Raja Ampat seperti Gag, Manuran, Kawei, dan Batang Pele. Tambang-tambang ini memantik perdebatan serius antara dua lembaga negara: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Bagi ESDM, kekayaan mineral seperti nikel adalah aset strategis nasional. Nikel dibutuhkan untuk bahan baku baterai kendaraan listrik, sebuah industri masa depan yang sedang berkembang pesat secara global. Pemerintah pusat juga tengah mendorong hilirisasi tambang sebagai bagian dari strategi industrialisasi nasional. Dengan logika ini, eksplorasi tambang di Raja Ampat dianggap sah-sah saja — apalagi jika perusahaan pemegang izin menjalankan aktivitas sesuai regulasi, memiliki AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), dan menyerap tenaga kerja lokal. Narasinya jelas: tambang bisa mempercepat pembangunan Papua, yang selama ini tertinggal dalam hal infrastruktur dan ekonomi.

Berbanding terbalik, KLHK justru menyoroti kerusakan ekologis yang ditimbulkan akibat kegiatan tambang. Menteri KLHK bahkan turun langsung ke lapangan dan menunjukkan dokumentasi kondisi hutan dan garis pantai yang rusak parah karena aktivitas tambang. Terumbu karang, salah satu aset paling berharga dalam pariwisata Raja Ampat, disebut mengalami gangguan akibat sedimentasi dan aliran limbah tambang ke laut. Lebih dari itu, KLHK mempertanyakan proses izin dan evaluasi lingkungan beberapa perusahaan tambang yang dinilai tidak transparan. Empat perusahaan kini sedang dalam proses peninjauan kembali izin lingkungannya.

Pulau Gag: Dari Surga Konservasi Menjadi Lahan Tambang

Salah satu pusat perhatian utama adalah Pulau Gag. Dulunya, pulau ini sempat masuk kawasan konservasi karena nilai ekologisnya yang tinggi. Namun belakangan, izin tambang mulai masuk kembali. Pemerintah daerah dan beberapa tokoh masyarakat menyatakan bahwa tidak ada kerusakan fatal di Pulau Gag. Bahkan, Bupati Raja Ampat menegaskan bahwa pulau tersebut tetap indah dan layak dikunjungi wisatawan.

Tapi kenyataannya, ketegangan tetap terasa. Aktivis lingkungan, peneliti laut, dan pelaku wisata lokal merasa khawatir. Mereka menyebut bahwa efek jangka panjang dari tambang sangat mungkin tidak langsung terlihat. Bahkan, kerusakan bawah laut sering kali lebih sulit dipulihkan dibanding hutan di daratan.

Ekowisata vs Tambang: Mana yang Lebih Bernilai?

Memang benar bahwa tambang bisa mendatangkan uang dalam waktu singkat. Tapi pariwisata alam yang dikelola secara berkelanjutan punya potensi ekonomi yang tak kalah besar — dan jauh lebih berumur panjang. Data dari Kemenparekraf menunjukkan bahwa kunjungan wisata ke Raja Ampat menyumbang pendapatan miliaran rupiah per tahun, belum termasuk multiplier effect ke UMKM lokal seperti penginapan, kuliner, dan kerajinan.

Selain itu, ekowisata memberi nilai yang tak kasat mata: pendidikan, kebudayaan, pelestarian alam, dan hubungan manusia dengan lingkungan yang lebih harmonis.Tak kalah penting, kita perlu mendengar suara masyarakat adat yang selama ini hidup di pesisir Raja Ampat. Bagi mereka, laut bukan hanya tempat mencari ikan — tapi juga bagian dari identitas, spiritualitas, dan keseimbangan hidup. Mereka kini berada di persimpangan jalan: di satu sisi tergiur janji tambang — gaji, pembangunan jalan, fasilitas sekolah; tapi di sisi lain takut kehilangan laut mereka, rusaknya kampung halaman, dan hilangnya mata pencaharian nelayan.

Konflik ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan debat teknis soal dokumen izin atau nilai ekonomi. Harus ada pendekatan kebijakan yang menyeluruh, dengan memperhatikan aspek :

  • Evaluasi menyeluruh terhadap AMDAL dan izin tambang di zona sensitif
  • Transparansi data dan partisipasi publik
  • Pemetaan kawasan yang benar-benar dilarang untuk tambang (no-go zone)
  • Skema kompensasi atau alih profesi untuk masyarakat jika tambang diberhentikan
  • Dukungan pada pariwisata berkelanjutan dan konservasi laut

 Raja Ampat adalah salah satu ekosistem laut terkaya di dunia. Jika tempat ini rusak oleh aktivitas tambang, kita tidak hanya kehilangan destinasi wisata — tapi juga kehilangan laboratorium alam yang menyimpan solusi untuk masa depan: dari potensi obat-obatan laut, biodiversitas global, hingga pelajaran hidup dari masyarakat adat.

Jangan sampai anak cucu kita hanya mengenal Raja Ampat lewat foto dan cerita.

Kita semua punya tanggung jawab untuk memastikan tempat ini tetap lestari — bukan hanya untuk wisata, tapi sebagai warisan yang tak ternilai bagi bumi dan kemanusiaan.